Makna Silsilah Trah Jawa Dari Berbagai Sumber, Lalu Siapakah Kita ?

makna silsilah trah jawa dari berbagai sumber, siapakah kita

Makna Silsilah Trah Jawa Dari Berbagai Sumber, Lalu Siapakah Kita ?. Kadang kita terjebak dalam pergaulan modern, akan tetapi tidak tau yang namanya silsilah trah jawa itu sendiri dari berbagai sudut pandang yang menjadi warisan nenek moyang kita. Sebenarnya menyimpan sebuah makna yang khas akan kearifan lokal penuh dengan tradisi jawa yang membumi. Maka akan timbul sebuah pertanyaan tentang apa sih maknanya tentang silsilah trah dalam Jawa itu sendiri..?.

Makanya akan timbul sebuah statement tentang, “jangan mengaku orang Jawa kalau tidak emngenal trah jawa itu sendiri apa, dari mana asal warisan nenek moyang tersebut”. Sejalan dengan perkembangan zaman dewasa ini membuat anak jaman sekarang lupa akan makna silsilah trah Jawa yang sebenarnya mempunyai sebuah makna tersendiri dari segi manapun.

Simak Juga : Inilah 18 Urut-urutan Keturunan (Trah) Jawa, Gimana Dengan Anda ?

Makna Silsilah Trah Jawa

Dan inilah penjelasan singkat makna dari silsilah trah Jawa dari berbagai sumber diantaranya:

Zaman Mataram Kuno

Kata trah memang lebih dikenal di lingkungan masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan Kota Raja (keraton). Alasannya, karena memang istilah ini sejak dari dulu akrab digunakan oleh keluarga Raja ataupun keluarga ningrat itu sendiri, Hanya saja saat ini sudah menjadi meluas, bukan saja keluar dari lingkungan kraton, akan tetapi juga telah menjadi bagian dari Bahasa Indonesia.

Dari KBBI 1988

Jika mengacu pada halaman KBBI tahun 1988, kata trah memiliki “lema” yang kurang-lebih sama dengan ‘wangsa.’ Yaitu; [1] keturunan raja; keluarga raja. [2] bangsa. Seiring perkembangannya yaitu yang berawal dari kerajaan Mataram Kuno dengan corak Hindu-Buddha, istilah wangsa itu sendiri digunakan untuk menyebut suatu dinasti, bukan lagi trah. Sebagai contoh adalah Wangsa Syailendra, ataupun Wangsa Sanjaya.

Zaman Mataram Islam

Ketika pemerintahan berubah, penguasa pun berganti, yang acap kita lihat tak lain adalah aturan dan ontran-ontran baru sesuai apa yang berkuasa itu. Hal ini bukan saja terjadi pada masa kini, namun sejatinya juga telah berabad-abad lalu ada dan terbukti dari berbagai sumber.

Asal-usul Ungkapan Trah

Sebagai bukti adalah pada saat zaman Mataram Kuno sebagai kerajaan Hindu-Buddha berganti menjadi Mataram Islam. Maka aturan mengenai terminologi ‘wangsa’ menjadi dimungkinkan sekali untuk berubah, yaitu menjadi trah. Hal ini tergambar dalam sebuah ungkapan yang akrab pada amsa kerajaan Mataram Islam hingga kini, yaitu “Trahing kusuma, rembesing madu, wijining naratapa, tedhaking andana warih,” yang kurang-lebihnya memiliki arti “keturunan bunga rembesan madu, benih pertapa, dan turunan orang-orang besar. Kalimat ungkapan di atas menjelaskan bahwa secara historis, awalnya penguasa Mataram Islam itu adalah keturunan orang-orang baik dan hebat.

Keluarga Besar

Pada perkembangannya, kata trah menjadi bisa lebih besar dan serupa dengan clan. Yaitu sebagai keluarga besar. Misalnya ‘Trah Haryanto,‘ serupa dengan clan Haryanto, memiliki definisi dari keluarga besarnya Haryanto, yaitu yang meliputi istri, anak, cucu, cicit, canggah, gantung-siwur, dan seterusnya. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa trah juga memiliki arti sebagai “keluarga besar satu keturunan.” Sama sekali bukan keluarga kecil yang hanya terdiri dari satu kepala keluarga sendiri saja.

Makna Kebersamaan dan Solidaritas

Silsilah panjang dan jelas siapa moyangnya inilah yang menjadi dasar makna dari kata trah. Ini dilakukan bukan semata hendak menjaga eksistensi dari sebuah keluarga. Namun tetap ada nilai luhur yang termaktub di dalamnya. Sebagai contoh adalah agar sadar akan asal-usul sejarah keluarga, sehingga bisa membuat sadar diri akan kemampuan dan penghormatannya terhadap orang lain. Begitu pula dengan aspek kekeluargaan, gotong-royong dan nilai solidaritas yang timbul darinya.

Artinya, di masa kini bisa kita petik makna bahwa kata “trah” memiliki maksud agar dalam masa modern dan dipenuhi dengan segala pernik kemajuan ini, jangan lantas kita hanya memikirkan diri sendiri saja, karena kita ini adalah makhluk dualisme, yaitu makhluk individu sekaligus makluk sosial. Mandiri akan tetapi tidak juga bisa berdiri sendiri  karena harus tetap selalu berdampingan dengan orang lain. (Sumber : “Trah” dan Wangsa; Heri Priyatmoko –Dosen Sanatata Dharma di Harian Cetak Pikiran rakyat, 25 Oktober 2015)

Lalu pertanyaan siapakah kita sudah terjawab kan..?. Dengan demikian akan semakin paham dan bangga tentunya menjadi seorang yang masuk dari trah suku jawa yang sangat penuh makna dari moyang kita yang selama ini kita tidak mengetahuinya. [Om_brew-WartaSolo.com]